Kamu dan Misteri (Part 2)


    "Aku butuh bantuanmu, Rin."
    "Kau tahu namaku?"
    "Ya. Aku tau." Dia menjawabnya cepat. Aku tak tau apa yang akan aku lakukan sekarang. Bagaimana jika aku menolak untuk membantunya? Apa yang akan terjadi denganku? Kulihat ke sekelilingku. Sepi. Tak banyak orang yang melewati jalan ini. Aku melihat ke arahnya lagi, dengan hati-hati.
    "Aku tak bisa membantumu."
    "Kau tak bisa menolakku."
     Aku menyeringai setelah mendengar jawabannya. Dia cukup kuat untuk memaksaku. Tapi aku mengingat perkataan Mom 'Jangan pernah takut dengan mereka. Meskipun mereka kuat, kau jauh lebih kuat dari mereka. Mereka sudah mati.'
    "Apa yang akan kau lakukan? Memaksaku?"
    "Ya. Sekuat yang kubisa." Katanya datar.
    "Sekuat apapun, kau tidak akan bisa memaksaku. Aku lebih kuat darimu. Dan aku yakin kau tahu itu." Aku kembali melangkah melanjutkan perjalananku. Berjalan secepat mungkin dan berusaha tidak menengok ke belakang.
    "Rin." Aku terkejut ketika ia tiba-tiba saja berada di depanku. Dengan tatapan yang masih sama, ia menatapku lekat, dan mulai berkata, "Aku harus mencari tau tentang kematianku."
***
    Malam ini aku sungguh sangat lelah. Dan anak kecil di kamarku tak henti-hentinya untuk mengajakku bermain. Aku sudah memberitahunya secara pelan dan hati-hati bahwa aku memiliki hari yang buruk. Dan dia tetap memaksaku untuk bermain. Kali ini ia menatapku dengan mata merahnya dan bibir yang pucat. Ah aku benar-benar terjebak.
***
    Pagi hari aku mendapati kamarku rapi dan tak berantakan seperti biasanya. Apa anak kecil itu yang membereskannya? Ah tidak mungkin. Dia pemalas. Aku tau itu. Tapi tunggu dulu. Semalam aku tak bermain dengannya. Aku tiba-tiba saja tertidur. Tapi, tidak ada luka pada lengan atau tubuhku. Apa yang terjadi?
    "Aku yang membereskannya." Tiba-tiba aku mendengar suaranya. Dia. Dia yang kemarin. Tapi bukan seperti dia. Kali ini dia datang tanpa luka yang menganga pada dahi nya. Atau luka pada wajahnya. Kali ini wajahnya bersih.
    "Sedang apa kau?"
    "Membujukmu."
    "Jangan harap."
    "Aku akan terus mencoba."
    "Kenapa dengan wajahmu?"
    "Aku menghapusnya."
    "Jadi kau menipuku?"
    "Aku kira dengan begitu kau akan mau membantuku."
    "Jangan harap."
    "Kau sudah mengatakan itu."
    "Benarkah? Ah tunggu. Kenapa aku jadi berbicara padamu? Pergilah. Aku tidak akan membantumu."
    "Apa kau tidak kasihan padaku? Aku terjebak. Aku tidak bisa menyebrang ke perhentian selanjutnya karena aku tidak tau kapan dan kenapa aku mati. Aku juga tak tau siapa yang membunuhku."
    "Itu bukan urusanku."
    "Hey. Aku dulu juga manusia. Sama sepertimu. Aku tau bagaimana rasanya pergi ke sekolah atau makan dengan Mom, aku tau itu. Kita sama."
    "Kita berbeda. Kau mati dan aku hidup."
    "Dan pada akhirnya kau juga akan mati."
    "Setidaknya aku masih hidup."
    "Ya, tapi kau bisa melihat orang mati." Katanya. Aku diam. Tak menjawabnya. Dia benar. Aku tak jauh berbeda dari mereka. Aku bisa melihat apa yang orang lain tak bisa lihat. Aku bisa melihat mereka yang sudah mati.
    "Maaf. Aku berlebihan." Katanya kemudian. Aku mengambil tas sekolah dan bergegas turun ke lantai bawah. Tapi dia menarik tanganku. "Apa kau tidak bingung, kenapa anak kecil itu tidak melukaimu kali ini?" Aku mencoba melepaskan genggaman tangannya. Namun, ia terlalu kuat mencengkram tanganku.
    "Aku bermain dengannya." Katanya. "Aku bisa bermain dengannya setiap malam jika kau mau." Sambungnya. "Jadi coba pikirkan tawaranku ini."
    "Pergilah. Jangan pernah menggangguku lagi."



Bersambung...

Komentar

Postingan Populer