Janji di Ranah Minang



           Akhirnya belati itu menancap tepat dihatiku. Seperti tersambar petir, perasaanku saat ini hancur berantakan. Ia telah berhasil menambahkan sayatan pada sisi lain hatiku yang belum tergores. Airmatanya berlinang bak air sungai batang anai yang mengalir deras disertai dengan isakan sesekali.
            “Inikah alasanmu meminta bertemu denganku, Dinda? Untuk mengucapkan sebuah selamat tinggal yang menyakitkan?” Tanyaku menatap kedua matanya lekat.
            “Maaf, Uda Sal. Saya harus pergi meninggalkan uda.” Ulangnya sekali lagi sambil menunduk. Batu yang kupijak ini serasa terangkat dan terlempar di atas kepalaku sendiri ketika Dinda yang ku cintai harus pergi meninggalkan tanah kelahiran kami – ranah minang- , dan meninggalkanku, untuk bersekolah ke negeri orang.
            “Sudahlah, Dinda. Janganlah engkau menangis sedemikian kerasnya. Jika ada oranglain yang mendengar, celakalah kita.” Kataku menenangkan Dinda yang tengah terduduk pada sebuah batu sungai batang anai yang lebih rendah. Dinda terus terisak. Selendang penutup yang tanggal, ia benarkan kembali. Betapa sakit hatiku ini mendengar kepergianmu, kekasihku. Namun apa daya bagiku? Aku hanyalah seorang tak punya yang mengandalkan sebuah cinta untuk hidup dikejamnya dunia. Ibuku hanyalah seorang buruh tani, dan ayahku hanya seorang penjual ikan yang penghasilannya hanya cukup untuk makan. Tapi lihatlah dirimu. Cantik dan berwibawa. Terlahir dari buah pernikahan seorang saudagar kaya raya dan seorang penjahit sukses. Tak pantaslah engkau dengan diriku yang hina ini.
            Aku memandang Dinda yang terus menangis sambil memandangi tangannya yang mengepal dikedua lutut. Wajahnya yang manis membuatku merasa beruntung memilikinya.
            “Maafkan saya, Uda Salim. Saya tak bermaksud demikian kepada anda. Ini semua permintaan kedua orangtuaku yang ingin mempunyai anak seorang dokter. Dan sayalah anak satu-satunya.” Jelas Dinda. Tangisnya sudah mereda. Dinda sudah tenang.
            “Tak usahlah kau berberat hati meninggalkanku demi impianmu itu, Dinda. Aku hanya seorang yang sederhana yang bertemu denganmu, dan berhasil mendapatkanmu. Sungguh tak pentingnya diriku ini dibandingkan impianmu untuk menjadi orang tinggi.” Dinda mengangkat wajahnya. Sepasang matanya menatapku lekat-lekat dengan arti yang berbeda.
            “Kau bukanlah orang sederhana, Uda Sal. Mungkin kau memang sederhana. Tapi tidak untuk hatimu. Bahkan Gunung Singgalang di seberang sana pun mampu engkau tahlukan dengan kemuliaanmu. Kau adalah Salim Basri. Kau adalah kekasihku.” Dinda tersenyum. Entah apa yang bisa membuat seorang Dinda berkata sedemikian beratnya. Seorang sederhana sepertiku pun mampu menahlukan Gunung Singgalang, katanya. Aku tersenyum. Bahkan hatikupun ikut tersenyum dibuatnya.
            Sang surya hampir meninggalkan tempatnya. Hari semakin pekat. Pohon-pohon di tepi sungai batang anai menari-menari tertiup angin. Dan aku masih tetap bersamanya di sini. menikmati terbenamnya matahari bersama di hari terakhir sebelum Dinda pergi ke negeri orang.
            “Tunggulah saya,Uda Sal. Beberapa tahun lagi. Dan hatiku akan kembali pada pelukanmu. Sepenuhnya.”
            “Oh, Dinda. Janganlah engkau berkata demikian beratnya. Berkaca-kaca mataku dibuatnya. Orang-orang di negeri seberang banyak yang melebihiku yang hanya seorang petani yang senang keluar masuk langgar ini. Tak tega ku melihatmu tersiksa karenanya.” Kataku. Dinda tersenyum lalu menggeleng.
            “Tak apa, Uda. Saya siap menerimanya. Janjiku tetaplah janji. Melabuhkan perasaan ini pada dermaga cintamu.”
***
            Sudah hampir seminggu ini Dinda hijrah ke negeri orang dan meninggalkanku. Sungguh berat hatiku ini menerima kenyataan bahwa Dinda benar-benar pergi. sayatan kecil yang ia goreskan sedikitnya mulai pulih kembali. Sedang apakah ia di sana? Sudah makan kah ia? Masih ingatkah ia denganku? Dan masihkah hatinya milikku?
            “Uda Salimm!!” Teriakan kecil membuyarkan Dinda dari isi kepalaku. Aku menoleh. Si Joni rupanya. Temanku satu langgar itu tengah berlari di pinggiran sawah dan menghampiriku yang tengah duduk di sebuah saung peyot yang hampir rubuh.
            “Ada apa gerangan engkau memanggil saya?” Tanyaku padanya ketika sampai di hadapanku. Nafasnya yang terengah-engah dan keringat yang mengucur di dahinya begitu terlihat. Joni berusaha mengatur nafasnya.
            “Di sini kau rupanya. Ku cari kau di langgar tapi tak ada.”
            “Saya sedang tak enak hati karena kepergian Dinda. Tak bisa makan ku dibuatnya.”
            “Ondeh. Masih Dinda saja yang ada dalam benakmu ini, Uda Sal.” Kata Joni
            “Tak bisa lepas pikiranku karenanya. Tak bisa hilang ingatanku akan dirinya. Begitu dekat hatiku dengannya. Tak sampai hati ku menyakitinya. Tak..”
            “Hei sudah sudah. Berpuisi saja kau setiap hari.” Kata Joni memotong kalimatku. “Coba kau tengok. Masih banyak peremppuan di sini, Uda Sal. Jangan selalu Dinda yang kau pikirkan. Kau ini tampan. Budi baik dan dermawan. Banyak perempuan yang ingin akan dirimu.” Sambung Joni.
            “Ah, tak akan pernah ada yang sama seperti Dindaku.”
            “Terserah kau sajalah, Uda. Aku mau kembali ke langgar dulu. Jangan lupa pengajian sore ini.” Joni melangkah meninggalkanku.

***
            Tak ku kira, kepergian Dinda sudah hampir menginjak empat tahun lamanya. Tapi tak satupun kabar yang kuterima darinya. Tak satupun sebuah surat sampai dipangkuanku. Kemanakah Dinda? Kapankah ia akan kembali dan berlabuh dihatiku?
            “Dimanakah engkau, kekasihku?”
            Kupelankan suaraku ketika mendengar seseorang tengah berbicara dengan ibu dan bapakku.  Entah siapa mereka, aku tak pernah tau. Ku buka pintu kamarku sedikit, lalu kuintip. Itulah mereka. Ibu dan Bapak Dinda. Ibuku menyadarinya dan menyuruhku segera keluar kamar. Ku anggukkan kepalaku.
            Ku cium punggung tangan mereka dan duduk di samping bapakku. Mereka menatapku dengan penuh perasaan kasihan. Aku tau itu. Sebenarnya ada apa ini? mengapa tak ada seorangpun yang mampu berbicara?
            Ibunda Dinda merogoh tas tangannya dan mengeluarkan secarik kertas yang berlipat. Ia memberikannya padaku. “Itu dari Dinda, Salim. Bacalah!” Kata Ibu Dinda padaku sambil tersenyum. Dapat kulihat dikedua matanya yang berkaca-kaca bahwa ia sedikit takut.
            Ku buka lipatan kertas itu dan ku baca isinya.
            Untuk udaku, Salim Basri.
Bagaimanakah kabarmu, uda? Ku harap kau baik saja sebagaimana mestinya. Maafkan ketidak sopananku karena baru memberimu kabar sekarang. Entah darimana aku harus memulai pengakuan ini. entah bagaimana aku menceritakannya. Aku masih belum bisa menemukan jawabannya.
Uda. Aku pergi meninggalkanmu ke negeri orang, bukanlah untuk belajar dan mengejar impian. Melainkan untuk berobat. Maafkan aku sebelumnya tak pernah memberitahumu tentang penyakitku ini. aku tak mau membebankanmu.
Uda Sal, kekasihku. Jika sampai tahun ketiga aku tak juga kembali, maka maafkanlah aku atas semua kesalahan yang pernah kuperbuat padamu. Aku harus pergi dan menuju dunia yang lebih baik. Meskipun tak sebaik saatku bersamamu.
                                                                                                Kekasihmu, Dinda.

            Begitulah isi surat dari Dinda. Surat yang sangat mengejutkan hatiku. Airmataku berlinang karenanya. Ku remas kertas itu hingga robek. Diriku tak terkendali. Kubenamkan diri ini pada pelukan ibuku. Dinda, kekasihku. Engkau benar-benar telah meninggalkanku. Pergi ke negeri orang dan tak pernah kembali.
            Engkau telah berjanji, Dinda. Untuk menjadi milikku sepenuhnya saat kau kembali. Sawah dan sungai batang anai yang menjadi saksinya. Tapi mengapa kau biarkan jahitan dihatiku karena sayatan yang pernah kau buat kembali terbuka dan bertambah lebar?


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer