Tempatku Pulang
Matahari telah tenggelam hampir
separuhnya, dan aku hanya berjalan tak tentu arah sejak dua jam terakhir ini.
kejadian itu kembali terulang ketika tak sengaja aku mengingatnya. Ketika aku
membanting pintu tepat di depan wajahnya yang mungkin sekarang sudah memar
karena terbentur. Tapi aku tak peduli. Itu hanyalah serpihan kecil pembalasan
dari rasa sakit yang kudapat karenanya.
Aku
terhenti. Terduduk pada sebuah bangku taman dan membetulkan tali sepatu kets-ku
yang sudah mulai longgar. Kupejamkan mataku, lalu membentangkan kedua tangan
dan menengadah. Merasakan nikmatnya hembusan angin yang menerpa wajahku ringan,
dan menerbangkan beberapa anak rambutku yang tak terikat. Sangat nyaman.
Ku
keluarkan ponsel imutku dari dalam saku mantel. Entah sudah berapa lama benda
itu selalu bergetar dan selalu ku acuhkan. Ku lihat layarnya. Tertera di sana
20 panggilan tak terjawab dan delapan pesan singkat.
Saat
ingin membuka salah satunya, tiba-tiba benda itu kembali bergetar dan
mengedip-ngedipkan lampunya. Menampilkan sebuah nama dilayarnya.
Karel.
Aku
bimbang. Disatu sisi aku ingin sekali berbicara padanya dan mendengarkan
penjelasannya. Tapi disisi yang lain, aku sangat membencinya. Membenci semua
yang ada pada dirinya. Termasuk perselingkuhan itu.
Benda
itu berhenti bergetar. Namun tak lama, ia kembali bergetar dan
mengedip-ngedipkan lampunya dan juga menampilkan nama yang sama pada layarnya.
Kini, dengan kemantapan hati, kuberanikan diri mengangkatnya.
“Irene??
Astaga Irene! Aku hampir gila karena kau tak menjawab panggilanku. Aku sangat
khawatir padamu!” Suara di seberang mulai terdengar. Aku hanya terdiam tak
menjawabnya.
“Irene?
Apa kau masih di sana? Kumohon bicaralah. !”
“Kau
mau apa?” Aku mulai bersuara.
“Irene,
aku bisa menjelaskan semuanya. Itu semua tak seperti yang kau kira. Aku dan
Lisa tidak…”
“Cukup!
Jangan bicara lagi! Aku sudah muak dengan semua omong kosong ini! dan aku juga
sudah muak denganmu!” Aku menekan tombol merah pada ponselku, menonaktifkannya,
dan memasukkannya kembali ke dalam mantel. Aku terisak. Airmataku mengalir
cukup deras, hingga pergelanggan mantelku basah karena ku gunakan untuk
menyekanya. Aku tak ingin pulang. Tak ingin untuk sekarang. Jika aku pulang,
Karel pasti ada di sana. Tapi, jika tidak, kemana aku harus pergi?
***
Setengah
jam kemudian, aku masih mematung pada posisiku. Sekali-sekali aku mengambil
cermin dari dalam tas dan melihat sudah seberapa bengkak mataku karena
menangis. Sesekali pula aku mengeluarkan ponsel dan bermaksud mengaktifkannya.
Tapi niat itu kuurungkan. Aku benar-benar ingin sendiri.
Hari
semakin kelam. Aku tak tahu sampai kapan aku harus berada di sini. angin yang
menerpa wajahku tak lagi sesejuk tadi. Angin itu sudah berubah menjadi angin
malam yang dinginnya tiga kali lipat.
Saat
itu pula aku melihat seorang wanita paruh baya tengah berjalan ke arahku. Ia
menenteng sebuah kantong plastik hitam. Dengan perawakan seperti orang jalanan,
wanita itu duduk di sampingku sambil tersenyum. Ia membuka kantong plastiknya
dan mengeluarkan sesuatu seperti pasir, tapi lebih mirip dengan makanan burung
atau ayam.
“Maaf,
nyonya, itu apa?” karena terlalu penasaran, aku mulai bertanya. Wanita itu
mengalihkan pandangannya padaku lalu tersenyum.
“Panggil
aku Bertha.” Jawab wanita itu, lalu menebarkan pasir yang ada digenggamannya. Dan
tak lama, sekelompok burung merpati terbang ke arahku. Bukan. Bukan ke arahku.
Tapi ke arah pasir yang wanita itu tebar. Aku kaget tak percaya. Wanita itu
kembali mengarahkan pandangannya padaku, dan kembali tersenyum.
“Kau tak
perlu takut. Mereka hanyalah sekawanan burung lapar dan tak punya rumah untuk
pulang. Jadi, disaat kau memiliki rumah untuk pulang, jagalah dan jangan
sia-siakan!” Kata Nyonya Bertha. Aku hanya menatapnya. Ia bangkit dari duduknya
lalu pergi.
***
Hari
sudah benar-benar semakin gelap. Aku kembali terisak. Isakanku terdengar
nyaring. Untungnya, hanya ada beberapa gelintir orang di taman ini. aku merogoh
tas ku dan kembali mengambil sebuah cermin. Oke, mataku sudah cukup bengkak
karena masalah ini. aku harus berhenti, dan mengakhirinya. Tapi aku tak bisa.
Aku terlalu mencintainya. Bahkan, kami berteman sejak kecil dan masih sama-sama
memakai popok. Aku kembali terisak sampai beberapa saat, hingga ada seseorang
menyodorkan sebuah sapu tangan kepadaku. Aku menengadah.
Karel.
Benar-benar
Karel. Sekarang ia ada di sini. Bersamaku. Dengan tubuh yang berkeringat dan
nafas yang terengah-engah seperti habis berlari. Dahinya yang diplester juga
terlihat jelas. Aku terkejut bukan main. Sekarang juga, aku lupa bagaimana
caranya bernafas. Sementara Karel, ia justru tersenyum lembut padaku.
***
“Bagaimana
kau menemukanku?” Aku bertanya padanya. Karel menghela nafas.
“Lisa
yang memberitahuku. Dia tadi melihatmu sedang bersama seorang wanita. Lalu, dia
langsung menelponku.” Karel berhenti sebentar. “Aku hanya ingin membuat kejutan
dihari ulangtahunmu. Dan aku meminta bantuan Lisa. Karena yang aku tau, Lisa
adalah teman baikmu saat masih di sekolah menengah. Apakah aku salah? Apakah
aku salah jika ingin membahagiakanmu? Apakah aku salah jika ingin membahagiakan
orang yang aku cintai?” sambungnya. Aku tetap terdiam. Aku tak sanggup menatap
matanya. Bahkan hanya sekedar untuk melihat wajahnya. Yang bisa kulakukan hanya
menangis.
Karel
menggenggam tanganku erat. Kuberanikan diri menghadapnya. Sepasang mata
indahnya langsung bertemu dengan sepasang mataku. Tatapan Karel yang lelah. Aku
tau itu. aku sangat mengerti.
Karel
menarik tanganku. Dan saat itu juga aku sudah berada di dalam pelukannya.
Hangat dan nyaman. Ah.. Perasaan ini memang tak pernah berubah. Aku dapat
mendengar degupan jantung Karel yang tak beraturan. “Maafkan aku.” Katanya
lemah. “Kau pun tau aku sangat mencintaimu.” Sambungnya. Agak lama. Dan sangat
nyaman. Namun, aku tersadar. Aku melepaskan pelukan Karel, lalu tersenyum
padanya. “Kumohon kembalilah! Kembali padaku!” Ucap Karel.
“Aku
pernah mendengar. Dari sebuah film. Salah satu tokohnya berkata, Tempat untukku
pulang, adalah tempat dimana ada orang yang memikirkanku. Jadi, Karel. Beritahu
aku. Sekarang juga. Apakah kau masih menjadi tempatku untuk pulang?” tanyaku
seranya memandang mata Karel dalam. Tanpa berfikir, ia mengangguk.
“Selalu,
Irene. Selalu.”
Komentar
Posting Komentar