Tetesan Airmata Dara (Part 3)
Pandu memandangi seisi padang rumput yang
dipenuhi dengan bunga-bunga cantik hasil tanaman almarhumah neneknya. Saat
neneknya meninggal, bunga-bunga itu tumbuh dengan sendirinya dan tak pernah
layu. Mamanya pernah berkata, “Nenek yang terus menjaga mereka sampai seperti
ini.”
Dari atas rumah pohon ini, Pandu dapat melihat
semuanya. Taman di sebelah barat, rumahnya di sebelah timur, dan lainnya. Entah
sudah berapa lama ia tak duduk menikmati indahnya sore dari atas sini. sunyi
sekali rasanya. Sejuk. Ketenangan mulai terasa. Bosan Pandu berdiam, ia turun
dari rumah pohon itu dan memandang padang rumput sambil melipat tangannya di
depan dada.
“Udah
gue duga lo ada di sini.” Suara itu mengagetkan Pandu seketika. Ia membalikkan
badannya dan menatap sinis orang yang berada di depannya.
“Kenapa
lo tau gue di sini?” Tanyanya.
“Karena
waktu masih kecil ini tempat favorit kita berdua.” Jawab orang itu. Pandu
tertegun. Elang memang tak pernah lupa akan kenangan semasa kecil mereka. Pandu
akui, sebagai sesame saudara, Elang lah yang lebih pantas menjadi seorang
kakak. Dia lebih dewasa, pintar, dan ramah.
“Kenapa nyariin gue?”
“Katanya
lo mau ngerjain tugas?”
“Emm..
Iya itu nanti. Gue masih capek.”
“Gak
usah bohong.”
“Bohong
kenapa?”
“Lo
ngeliat gue waktu sama Dara, kan?” Tanya Elang. Pandu tak menjawab. Ia terdiam
sambil menatap Elang sinis. “Enggak.” Dusta Pandu.
“Gue
adek lo. Gue selalu tau ketika lo bohong.”
“Kalo
iya kenapa? Lo mau pamer ke gue? Lo mau bilang kalo hari ini lo resmi sama
Dara? Lo mau bilang kalo hari ini lo bahagia banget? Hah?!” Teriak Pandu kesal.
“Dari dulu, Lang, dari dulu. Gue emang selalu kalah dari lo. Lo yang selalu
menang. Lo yang lebih. Seakan-akan lo yang paling sempurna di dunia ini dan gue
Cuma dipandang sebelah mata. Sama Mama. Sama Papa. Bahkan sama Dara!” Pandu
berhenti sejenak mengatur nafasnya yang terengah-egah.
“Lo
ambil semuanya dari gue! Perhatian Mama. Perhatian Papa. Dan sekarang apa? Lo
ambil Dara, hah?!” Elang sama sekali tak membalas kemurkaan kakaknya itu. ia
hanya terdiam dan sesekali menggelengkan kepala. “Tapi lo tenang aja. Sekarang
gue udah mulai bisa nerima semuanya.” Kata Pandu tersenyum. Ia menunggu sang
adik membalasnya. Namun tak terjadi apa-apa. Elang malah tersenyum sambil
memasukkan kedua tangannya ke dalam saku kantong celananya.
“Udah?”
Tanya Elang. “Udah ngomelnya?” Tanya Elang lagi. Pandu menatap Elang
terheran-heran. “Lo salah paham.” Kata Elang. Pandu meringis. “Kasih tau gue,
dibagian mana gue salah paham!”
“Semuanya.”
Elang tersenyum.
“Gue
emang sayang sama Dara. Gue juga selalu nyoba buat ngutarain perasaan ini. Tapi
apa lo tau apa yang Dara bilang setiap gue nyatain perasaan gue?” Elang terdiam
menatap Pandu. “Dia selalu bilang, ‘gue juga sayang sama lo, Lang. Tapi maaf,
gue sayang Pandu.’ Itu yang selalu dia bilang.” Pandu tercengang. Apa benar
yang diucapkannya? Apa benar yang diucapkan adiknya?
“Lo
bohong!”
“Buat
apa gue bohong buat kebahagian kakak gue sendiri?”
“Dara
gak pernah ngeliat gue!”
“Tapi
Dara selalu ngerasa lo yang selalu ada buat dia. Bukan gue.” Pandu terdiam.
Benar-benar mematung tak percaya. “Tugas lo sekarang Cuma satu. Temuin Dara,
dan ungkapin semuanya.”
***
Perlahan
Dara membuka matanya. Ia tertidur cukup lama. Mata Dara menjelajahi seluruh
ruangan. Di sebelah kanannya ada seseorang. Wajahnya tertutup majalah yang
sedang ia baca. Namun kemudian majalahnya diturunkan dan Dara dapat melihat
orang itu. Ia tersenyum.
“Hai.”
Sapa Pandu.
“Hai.”
Jawab Dara.
“Seneng
rasanya bisa ngeliat lo ketawa lagi.” Kata Pandu. Dara tak menjawab. Ia hanya
tersenyum dan menatap Pandu dalam. “Tumben datengnya jam segini. Emang gak ada
kuliah?” Tanya Dara.
“Ada
sih. Tapi gue bolos.”
“Bolos
terus. Gak takut dimarahin dosen?”
“Enggak
takut. Daripada gue dimarahin lo, mendingan dimarahin dosen.” Goda Pandu. Dara
tersipu lalu menyubit lengan Pandu gemas. “Apaan sih lo. Lebay.” Kata Dara.
Mereka tertawa bersama. Entah apa yang mereka bicarakan, semua jadi terasa
menyenangkan.
“Ra..”
Panggil Pandu.
“Ya?”
“Jangan
lakuin hal bodoh lagi ya. Gue gak mau lo kenapa-kenapa. Kalo ada apa-apa, lo
tinggal cerita aja ke gue. Kalo ada yang nyakitin lo, lo bilang aja ke gue. Gue
selalu jagain lo, Ra.” Kata Pandu menggenggam tangan Dara. Dara tersenyum lalu
mengangguk. “Gue sayang sama lo, Ra.” Pandu mengusap kepala Dara lembut.
“Makasih
ya.” Dara tersenyum. “Makasih udah mau sayang sama gue.”
***
Di
sisi yang lain, Elang bahagia melihat mereka. Meskipun harus merasakan sakit
beberapa saat, namun semua masih dapat teratasi. Bukan karena Dara. Bukan
karena Pandu. Bukan karena mereka. Tapi karena kebodohannya sendiri.
Elang mengambil ponsel yang ada di saku celananya lalu menekan tombol seseorang.
Telpon pun tersambung.
“Sore,
Om. Elang, Om. Iya. Bisa ke sini sebentar, Om? Gak lama kok. Sebentar aja. Oke,
Om.” Elang menutup ponselnya dan tersenyum. “Semoga lo bahagia sama apa yang
gue lakuin, Ra.”
***
Langkah
Papa Dara tergopoh-gopoh ketika mengetahui putrinya masuk rumah sakit beberapa
hari yang lalu. Ketika bertemu Mbak Ratih di depan pintu masuk tadi, Papa Dara
habis-habisan mengomeli Mbak Ratih.
“Kenapa
kamu gak ngasih tau saya dari awal?”
“Maaf,
Tuan. Tapi Non Dara yang minta.” Begitu jawaban yang diberikan Mbak Ratih
ketika diomeli Papa Dara. Mbak Ratih langsung memberitahu nomor kamar Dara.
Papa Dara langsung menggerakkan jalan seribu langkah untuk menemuin putrinya
itu.
Sampai
di depan pintu kamar Dara, tanpa basa-basi Papa Dara langsung masuk dan melihat
anaknya tengah terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan sebelah tangannya
di perban dan sebelahnya lagi dipasangi selang infus. Papa Dara berlari
menghampiri Dar. Dara yang melihat Papanya sekarang ada di hadapannya kaget
bukan main. “Papa?”
“Ya
ampun, Dara! Kamu kenapa? Kamu abis ngapain?” Papa Dara terduduk di kursi
sebelah Dara.
“Kok
Papa ada di sini? Pasti Mbak Ratih yang ngasih tau.” Terka Dara. Papanya
menggeleng.
“Bukan.
Elang yang ngasih tau Papa.” Pikiran Dara melayang. Elang? Sejak kapan Elang
punya nomor Papa? Batin Dara.
“Maafkan
Papa, Dara. Selama ini Papa tidak pernah memperhatian kamu. Papa hanya
meninggalkan kamu uang dan Papa kira semua itu sudah cukup. Tapi ternyata Papa
salah.” Papa Dara memeluk anaknya erat. Airmata Dara mengalir. Tangisannya
pecah.
“Iya,
Pa. Maafin Dara juga, ya.” Dara tersenyum. Ia menangis bahagia dalam pelukan
sang ayah.
Sebanyak
apapun harta yang mereka dapatkan, sebanyak apapun harta yang mereka berikan,
sebanyak apapun berlian yang mereka tampung, tetap tak akan pernah bisa membeli
kebahagian dan sebuah kasih sayang. Tak bisa. Dan tak akan pernah bisa.
Komentar
Posting Komentar