Tetesan Airmata Dara (Part 2)
Pandu
berlari secepat mungkin begitu mendengar kabar mengejutkan itu dari sang adik.
Tanpa segan-segan, Pandu langsung membolos dua mata kuliah sekaligus. Dalam
hatinya seperti hanya berbisik hanya-Dara-yang-terpenting-saat-ini. Pandu terus
berlari di lorong rumah sakit menuju kamar Dara.
Begitu sampai, Pandu melihat Elang
dan Mbak Ratih sedang terduduk gelisah menungu kabar dokter tentang Dara. Pandu
menghampiri sang adik dan menaatapnya cemas.
“Gimana?” Tanya Pandu. Elang
menggeleng. “Belom pasti.” Pandu berputar lalu mengacak-acak rambutnya sebal.
Kemudian ia diam terduduk dikursinya. Di sisi lain, Mbak Ratih terus menangis
sambil berdoa. Elang dan Pandu dapat merasakan, betapa sayangnya Mbak Ratih
terhadap Dara. Ia yang sudah menjaga Dara sejak kecil. Sejak Dara terlihat
bahagia, sampai Dara terlihat hancur seperti sekarang ini.
Elang menghampiri Mbak Ratih. Ia
menyentuh pundak Mbak Ratih lembut, lalu tersenyum. “Dara pasti baik-baik aja,
Mbak.” Hibur Elang. “Mbak tau, Mas. Mbak Cuma gak sampai pikir aja Non Dara
sanggup melakukan hal seperti itu.” Elang tak menjawab. Ia hanya tersenyum. Tak
lama, dokter yang memeriksa Dara pun keluar dari kamar Dara. Elang, Pandu, dan
Mbak Ratih spontan langsung berdiri dan berlari menghampiri dokter itu.
“Gimana keadaannya, Dok?” Pandu
langsung angkat bicara. Dokter tadi tersenyum tipis dan berkata, “Dara dalam
keadaan lemah. Ia terlalu banyak kehabisan darah. Tapi kalian tenang saja,
persedian darah dengan golongan darah yang Dara perlukan masih tercukupi. Mungkin
esok atau lusa Dara akan siuman. ” Jawab sang dokter. Mbak Ratih memegangi
dadanya dan tersenyum lega.
“Saya boleh masuk, Dok?” Tanya
Pandu. “Saya rasa jangan dulu. Biarkan dia istirahat. Kalau begitu, saya
permisi dulu.” Dokter tadi tersenyum lalu melangkah meninggalkan mereka bertiga
bersama dua orang suster yang salah satunya membawa beberapa map tebal. Mereka
bertiga kembali terduduk.
Malam semakin larut. Mbak Ratih
tengah pergi ke mushola rumah sakit untuk melaksanakan sholat malam. Sedangkah
Pandu sedang mencorat-coret buku tebal hukumnya dengan pensil. Mungkin tugas
karena hari ini ia membolos dua mata kuliah sekaligus. Semua sibuk. Tapi tidak
dengan Elang. Hari ini ia juga harus membolos sekolah untuk menjaga Dara yang
tengah sekarat. Kakinya tak bisa diam. Seringkali ia mendapat omelan dari sang
kakak karena kelakuannya yang aneh.
Elang melangkahkan kakinya berjalan
menuju jendela kaca kamar Dara. Dari sini, ia dapat melihat dan menjaga Dara
walaupun dari jauh. Selang infus terpasang rapi ditangan kiri Dara. Begitu juga
dengan selang pernafasan yang terpasang di hidungnya. Alat pendeteksi detak
jantung dan nadi Dara membuat garis-garis tak beraturan di sebelah tempat
tidurnya.
Entah hanya perasaan Elang saja,
atau ia memang benar melihat Dara membuka mata. Bukan. Itu bukan perasaannya.
Kini ia melihat jari-jari tangan Dara bergerak perlahan. Tatapan mata Dara
bertemu dengan sepasang mata indah milik Elang. Elang membuka mulut.
Menggerakkannya perlahan hingga Dara bisa membaca apa yang ia katakan. “Hai.”
Mulut Elang bergerak pelan. Dara tak menjawab. Kondisinya masih terlalu lemah.
Ia hanya menjawab sapaan Elang dengan senyuman.
“Lo keliatan ancur.” Mulut Elang
bergerak lagi. Melihat itu, Dara tersenyum dan mengangguk perlahan. “Mau gue
panggilin dokter?” Senyuman Dara memudar. Ia menggeleng perlahan. Elang
mengerti. “Atau mau gue panggilin Pandu aja? atau Mbak Ratih?” Mulut Elang
kembali bergerak. Dara tersenyum dan menggeleng lagi. Saat ini Dara hanya ingin
sendirian. Tidak. Hanya ingin berdua ditemani Elang.
Melihat Dara menggeleng, Elang
mengangguk dan tersenyum. Ia menempelkan telapak tangannya pada jendela kaca
itu. Elang menatap Dara lembut. “Lo akan baik-baik aja. Gue janji!” Mulut Elang
kembali bergerak. Dan Dara kembali menjawabnya dengan senyuman tipis.
***
Dua hari berlalu. Dara masih ada di rumah
sakit. Kondisinya belum stabil. Beberapa dokter di rumah sakit itu menyarankan
agar Dara diperiksa lebih lanjut pada dokter ahli. Takut jika Dara mengaalami
gangguan jiwa dan akan mengulangi hal itu lagi dilain waktu. Tapi, Mbak Ratih,
Pandu, dan khususnya Elang menolaknya dengan keras. Mereka yakin, Dara tidak
gila. Ia hanya sedikit tertekan dengan keadaan yang dialami keluarganya.
Mbak Ratih keluar dari kamar Dara
dan pergi ke kantin untuk membeli beberapa makanan ringan. Sedangkan Pandu
harus menghadapi ujian susulan karena sudah membolos selama dua hari. Dan Elang
yang menemani Dara saat ini.
“Bahkan gak satupun dari mereka
peduli sama gue disaat gue kayak gini.” Tiba-tiba Dara berbicara. Elang yang
sedang melihat pemandangan di luar jendela mengalihkan pandangannya pada Dara.
“Sekarang gue sadar. Gue emang anak broken home.” Kata Dara lagi. Pandangan
Dara lurus ke depan. Tanpa melihat ke arah Elang, ia terus berkata, “Gue emang
anak yang malang.”
“Sst.. Lo gak boleh ngomong kayak
gitu, Ra!” Elang menghampiri Dara dan terduduk di sebelahnya. Tangannya mengelus
kepala Dara lembut. Mata Dara terasa perih. Airmata mulai mengalir. Dadanya
terasa sesak. Tapi ia terus menahannya. Menahan tangisannya. Elang yang melihat
itu, memeluk Dara dengan erat.
“Nangis, Ra, nangis! Keluarin
semuanya! Nangis yang kenceng, Ra!” Kata Elang. Isakan Dara mulai terdengar.
Elang mempererat pelukannya. Dara membalas pelukan Elang dengan satu tangannya
yang terbebas dari selang infus.
“Gue
gak tahan, Lang! rasanya gue mau mati aja! mereka gak ada yang peduli sama
gue!” Ucap Dara disela tangisannya. Elang mengusap punggung Dara lembut. “Lo
gak boleh ngomong kayak gitu. Masih banyak orang yang sayang sama lo. Ada Mbak
Ratih, Pandu, dan gue. Gue juga sayang sama lo, Ra. Kita semua gak mau
kehilangan lo. Lo sabar, ya.” Elang melepaskan pelukannya. Ia menghapus airmata
Dara perlahan. Tangisan Dara mulai mereda. Perlahan, mulai terhenti.
“Lo
harus janji sama gue. Jangan pernah biarin setetes airmata lo jatoh Cuma buat
hal yang gak berguna. Oke?” Dara tersenyum lalu mengangguk. Elang ikut
tersenyum. Ia mengacak-acak rambut Dara seperti biasa yang ia lakukan pada
Dara. “Mulai deh.” Kata Dara manyun.
***
Di
sisi lain, Pandu melihat itu semua. Melihat Dara menangis, melihat Dara tersenyum
pada Elang, melihat Elang memeluk Dara, melihat Elang menghapus airmata Dara,
melihat Elang mengacak-acak rambut Dara, melihat Elang bercanda dengan Dara,
dan semuanya. Semuanya nyata. Ini bukan mimpi. Seharusnya dari dulu Pandu
memang menyadari bahwa Dara hanya mencintai Elang. Bahwa Dara hanya membuka
hati pada Elang.
“Kenapa
gue bodoh banget?” Omel Pandu dalam hati. Hatinya terasa panas. Teriris. Hancur
berkeping-keping. Melihat orang yang dicintainya lebih mencintai adiknya
sendiri. Tatapan Dara ke Elang lebih bercahaya dan memancarkan suatu makna
tersendiri. Tidak saat bersama Pandu. Hanya tatapan seorang adik kepada
kakaknya.
“Harusnya
gue berani buat ngelepas dia. Harusnya gue kuat buat ngebiarin dia bahagia sama
orang lain. Tapi kenyataannya itu sulit. Dan bahkan gue gak akan bisa.” Batin
Pandu. Pandu meninju temmbok rumah sakit dan membiarkan semua mata tertuju
padanya. Ia tak peduli. Pandu melangkahkan kakinya meninggalkan kamar Dara dan
segera pergi dari sana. Namun, Mbak Ratih melihatnya.
“Loh,
Mas Pandu kok balik lagi? Gak masuk dulu?”
“Enggak,
Mbak. Saya mau pulang aja. Ada tugas yang mau dikerjain buat dikumpulin besok.”
Jawab Pandu dengan senyum yang dipaksakan. Mbak Ratih mengangguk lalu berlalu
meninggalkan Pandu.
***
Mbak
Ratih memasuki kamar Dara dengan menenteng dua buah kantong plastik hitam di
tangannya. Mbak Ratih melihat Dara dan Elang yang tengah asyik bercanda dan
tertawa riang. “Aduh lagi ngapain sih?
Seru banget kayaknya.” Tanya Mbak Ratih.
“Gak
ngapa-ngapain kok, Mbak. Elang Cuma lagi nyeritain tingkah si Dodo yang kocak
banget waktu pelajaran Pak Hasan waktu itu.” Jawab Dara sambil tertawa kecil
pada Mbak Ratih. Mbak ratih kemudia mengangguk dan tersenyum.
“Seneng
deh ngeliat Non Dara ceria lagi. Mbak jadi bahagia.” Kata Mbak Ratih ketika
tengah menuangkan sebotol susu cokelat ke dalam sebuah gelas berukuran sedang.
Dara tak menjawab. Ia hanya tersenyum. Dara mengalihkan pandangannya pada
Elang, mendekatkan wajahnya, lalu berbicara, “Makasih, ya. Gue juga sayang sama
lo…” Kata Dara. Jantung Elang berdegup cepat. “Tapi maaf, Lang. Gue sayang sama
Pandu.” Sambung Dara menunduk.
“Mas
Elang tadi gak ketemu Mas Pandu?” Tanya Mbak Ratih tiba-tiba. Dengan cepat Dara
menjauhkan wajahnya dari Elang. “Eng.. Enggak, Mbak. Emang tadi Pandu ke sini?”
“Iya.
Emangnya Mas Elang gak tau? Baru aja pulang. Tapi dari jauh Mbak liatin, dia
Cuma berdiri aja di jendela kaca kamar. Gak mau masuk. Pas Mbak tanya, katanya
dia mau pulang. Ada tugas yang harus dikumpulin besok.” Jelas Mbak Ratih. Mbak
Ratih menyodorkan segelas susu cokelat tadi kepada Dara.
“Sial!”
Batin Elang.
To be continue..
Komentar
Posting Komentar