Tetesan Airmata Dara (Part 1)



           “Gue benci kalian semua!!” Dara berteriak lalu membanting gelas yang ada digenggamannya. Airmatanya mengalir deras. Mbak Ratih, pembantunya, terloncat kaget. Ia menghampiri Dara. “Ya ampun, Non. Sabar, Non, sabar.” Ucap Mbak Ratih seraya mengusap kepala Dara yang berkeringat. Dadanya terasa sesak. Cukup sudah. Semua sudah cukup. Rasa sakit yang ia terima selama ini harus disudahi. Hampir dua tahun belakangan ini Dara hidup dalam penderitaan. Penderitaan yang sama sekali bukan salahnya.
            Dua tahun yang lalu, Mama dan Papa Dara bercerai. Mama Dara berselingkuh dengan bos di kantornya. Dan hebatnya lagi, Mama Dara lebih memilih laki-laki peyot itu daripada dirinya. Papa Dara pun sama. Meskipun sudah resmi bercerai, Papa selalu bertengkar dengan Mama walaupun karena masalah kecil. Dara berusaha meyakinkan dirinya bahwa dia bukanlah salah satu anak yang termasuk broken home. Hati kecil Dara selalu berbisik. Entah mengapa, Dara hanya merasa ada sedikit masalah yang keluarganya sedang hadapi dan sebentar lagi akan tuntas.
            Selama ini Dara jarang sekali berbicara dengan Papanya. Bahkan hanya sekedar untuk makan malam. Papanya selalu pergi pagi pulang malam. Setiap hari selalu begitu. Seribu satu alasan selalu keluar dari mulut Papanya. Dapat diakui, Dara adalah anak tunggal dari pengusaha kaya raya. Semua kebutuhan Dara selalu terpenuhi. Semua permintaan Dara selalu ditepati. Tapi bukan itu yang ia inginkan.
            “Dara Cuma butuh kasih sayang orangtua! Bukan uang dan harta!” Dara melempar piring yang aada di atas meja lalu berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Mbak Ratih hanya menggelengkan kepala dan mengusap dada. Mbak Ratih sudah mengurus Dara sejak kelas 3 SD sampai sekarang, kelas XII SMA. Mbak Ratih sudah menganggap Dara sebagai anaknya sendiri. Dara adalah anak yang ceria dan cerdas. Ia juga cepat bergaul dan punya banyak teman. Tapi itu dulu. Sebelum kejadian dua tahun lalu terjadi.

***
            Dara membuka buku hariannya dan menulis sesuatu di sana. Dengan airmata yang terus mengalir, Dara menuangkan seluruh perasaannya pada buku itu. Semakin lama menulis, Dara semakin merasakan dendam dan amarahnya. Ia menekan pulpennya dan akhirnya menutup buku harian itu dan melemparnya ke dinding kamar. Dara memeluk kakinya dan membenamkan wajahnya. Ia menangis sejadi-jadinya. Dara terus menangis. Terus mengangis. Terus menangis. Sampai akhirnya ia kelelahan dan tertidur.

***
            Alarm ponsel Elang berdering kencang. Elang tersentak. Tangannya menjalar menggapai ponselnya dan menekan tombol merah. Elang terduduk. Ia mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali, lalu menguceknya. Setelah nyawanya terkumpul, Elang mengambil handuknya yang ada di belakang pintu lalu bergegas ke kamar mandi.
            Hendak memasuki kamar mandi, Elang berpapasan dengan kakaknya, Pandu. Ia pun hendak melakukan hal yang sama dengan Elang. Mandi. Namun, langkah Pandu terlalu cepat hingga Elang tak dapat menyusulnya.
            “Pandu! Lo apa-apaan sih? Sekarang kan hari Selasa. Lo kan kuliah siang! Ngapain mandi jam segini! Gue duluan woy!!” Elang menggedor-gedor pintu kamar mandi. Pandu yang terganggu pun membuka pintu dan menyemprot Elang dengan berbagai omelan.
            “Apaan sih lo?!! Hari ini gue kuliah pagi! Lagian kalo gue kuliah siang ya suka-suka gue dong mau mandi kapan!” Jawab Pandu meneriaki Elang. Elang langsung menutup telinganya dengan jari telunjuk.
            “Yaudah gue duluan! Lo kan tuaan. Jadi harus ngalah!” Elang berjalan memasuki kamar mandi. Namun tak secepat itu. Pandu masih berdiri dihadapannya dengan gagah beraninya seorang mahasiswa fakultas hukumnya. “Eh tunggu dulu. Gue mau nanya sesuatu nih ama lo.” Kata Pandu.
            “Aduh apaan lagi sih? gue telat nih!”
            “Semalem gue lewat depan rumahnya Dara, trus gue ngedenger suara gelas pecah gitu. Dua kali malahan. Udah gitu dia teriak-teriak. Lo lagi berantem sama dia? Lo apain dia? Kalo sampe lo apa-apain dia, lo harus hadapin gue.” Pandu menatap adiknya garang. Elang berfikir sejenak. Ada apa dengan sahabatnya itu? Dara memang sering bertingkah konyol. Tapi tidak sampai seperti ini.
            “Apaan sih lo?! Gua gak ngapa-ngapain dia. Dari kemaren dia gak ada kabar. Gue telfon juga gak aktif.”
            “Pokoknya lo harus cari tau dia kenapa. Kasian Dara.” Pandu memang dari kecil naksir sama Dara. Dia gak akan membirkan satu orangpun menyakiti Dara. Tanpa terkecuali adiknya sendiri.
            “Lo terlalu lebay! Udah ah. Gua mau mandi. Pelajaran pertama fisika. Kalo telat mampus aja gue.” Elang melenggak memasuki kamar mandi.

***
            Elang sampai di depan rumah Dara. Sepi dan gelap. Meskipun masih pagi, tapi kesunyian tetap terlihat di sana. Sudah hampir seminggu ini Elang tak mengunjungi Dara. Pagi ini, ia memberanikan diri untuk mengajaknya ke sekolah bersama. Elang menuruni motornya dan melepas helm. Ia berjalan menaiki tangga dan berdiri tepat di depan pintu rumahnya. Ketika hendak mengetuk, tiba-tiba pintu terbuka dengan sendirinya. Dari dalam, terlihat Mbak Ratih yang berdiri dihadapannya lengkap dengan keranjang sayur. Nampaknya Mbak Ratih ingin belanja.
            “Eh, ada Mas Elang. Tumben pagi-pagi dateng.”
            “Iya nih, Mbak. Em, Dara nya ada, Mbak?” Tanya Elang langsung tanpa basa-basi.
            “Ada sih, Mas. Tapi dari semalem gak mau keluar kamar. Di gedor-gedor juga gak dibukain. Boro-boro dibukain, disaut aja enggak.” Jawab Mbak Ratih.
            “Em, saya boleh nyoba ngomong sama dia, Mbak?”
            “Boleh, Mas. Silahkan aja. Saya mau ke pasar dulu, ya. Udah kesiangan nih. Nanti keabisan kangkung.” Kata Mbak Ratih sambil tertawa kecil. Elang tersenyum padanya. Ia memasuki rumah Dara dan segera melangkah menuju kamarnya. Tanpa menunggu lama, Elang mengetuk pintu kamarnya.
            “Ra! Ini gue. Lo denger gue kan?” Taka da jawaban. Elang kembali mengetuk pintu kamar Dara. “Ra, lo kenapa?” Tak terdengar jawaban lagi. Elang tak bosan-bosannya mengetuk pintu kamar Dara. “Ra, kita sahabatan dari kecil. Gue tau lo banget, Ra. Lo bisa cerita semuanya ke gue.” Kali ini Elang benar-benar khawatir. Dara sama sekali tak menjawabnya. Elang menenmpelkan telinganya pada pintu kamar Dara. Hening. Tak terdengar apapun. Elang menggedor-gedor pintu kamar Dara lebih keras dan berteriak. “Ra!!! Gue mohon jawab gue kalo lo denger gue.” Tak terdengar jawaban. Elang tak berfikir panjang. Ia mendobrak pintu kamar Dara. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Dan pada dobrakan yang keempat, pintu kamar Dara terbuka. Memperlihatkan tubuh Dara yang tergeletak tak berdaya tengah terkapar di lantai, lengkap dengan pergelangan tangannya yang bersimbah darah.
            “Dara!! Ya ampun!!” Elang menggndong Dara. “Lo harus kuat, Ra!! Lo harus tahan!!”


To be continue..

Komentar

Postingan Populer